Kumpulan Kitab Tauhid Syarah Jauhar Tauhid

Kembali admin blog membagi-bagi kitab kuning gratis yang bisa didownload dengan file format PDF yang dibuka oleh software atau aplikasi yang support dengan file PDF contoh Adobe Reader dll.

Kali ini ada Kitab Tauhid yang kita kenal dengan Kitab Jauhar Tauhid yang tidak akan asing di telinga para santri yang sering mengaji kitab ini. Tapi yang ada di blog ini adalah Syarah-Syarah Jauhar Tauhid, penjelasan-penjelasan dari kitab Jauhar Tauhid hingga 11 kitab syarah yang bisa di download.

Daftar Kitab-kitab Syarah Jauhar Tauhid – Penjelasan Kitab Aqidah Jauhar Tauhid

تحفة المريد شرح جوهرة التوحيد – البيجوري
فتح المجيد فى شرح جوهرة التوحيد – الفلمباني
حاشية ابن الأمير على جوهرة التوحيد
المنهاج السديد فى شرح جوهرة التوحيد – محمد الحنيفى الحلبي
بغية المريد لجوهرة التوحيد – إبراهيم المارغني
شرح الصاوي على جوهرة التوحيد
التعليقات المفيدة على جوهرة التوحيد و بدء الآمالى – عبد السلام شاكر
تقريب البعيد إلى جوهرة التوحيد – المؤخر الصفاقسي
المختصر المفيد شرح جوهرة التوحيد – نوح القضاة
عون المريد لشرح جوهرة التوحيد – عبد الكريم تتان, محمد أديب الكيلاني
شرح الناظم على الجوهرة وهو الشرح الصغير المسمى هداية المريد لجوهرة التوحيد – اللقاني
الرأي السديد في شرح جوهرة التوحيد – إبراهيم حريبة

SILAHKAN DOWNLOADDownload PDF

Madzhab Ibnu Arabi

Ibnu Arabi

Ibnu Arabi

Masih dari ststus menarik dari Ustadz Ashfi Bagindo Fakiah mengenai ststus Madzhab Ibnu Arabi yang terkenal dengan Ilmu Tasawwuf, Tariqat dan jalan sufi-nya.

Soal Ibnu Arabi itu seorang maliki atau zhahiri, jika membaca bab fiqih dalam futuhat makkiyyah, ternyata bukan zhahiri jg bukan maliki (mksdnya memang bukan al Qadhi Abu Bakr Ibn al-Arabi al Maliki).

Dicoba membandingkan permasalahan fikih yang beliau katakan dengan “Wa Bihi Aqūl” dalam futuhat dengan dua mazhab tersebut ; Maliki dan Zhahiri, ternyata memang berbeda meski tetap ada persamaannya, sebagaimana lumrahnya persamaan antar mazhab-mazhab fikih lainnya.

Dan ternyata oleh Syaikh Mahmud Mahmud al Ghurrāb juga dikatakan demikian. Sebagaimana ustadz Arrazy Hasyim yang kitab futuhatnya sudah banyak coretan hasyiyahnya dulu juga menegaskan bahwa Ibnu Arabi ini bermazhab fikih yang mustaqill sekaligus seorang muhaddits dan musnid.

Poin-poin dalam pendahuluan kitab ini ;

1. Seorang Mujtahid Mutlaq.
2. Pemilik Mazhab Mustaqill dalam koridor fiqih ahlussunnah wal jamaah.
3. Qiyas bukan dasar hukum syariat.
4. Mazhabnya cenderung Taysir.
5. Seorang Salafi.
6. Fiqihnya selalu ditinjau dengan maqashid syariah, kebalikan zhahiri.
7. Tidak jumud pada teks.
8. Meyakini bahwa rukhshah melingkupi semua hukum.

Pembacaan lebih bisa didapat pada karya Syaikh Mahmud Mahmud Ghurrab sendiri yang berjudul ;

“al Fiqh ‘Inda al Syaikh al Akbar Muhyiddin Ibn ‘Arabi”

Bab Tayamum Sunnah-Sunnah dan Kefarduan

Tayamum

Tayamum

Masih dengan terjemahan manual Kitab Riyadhul Badi’ah oleh Admin blog yang mungkin ada kekeliruan dalam penerjemahan, mohon untuk dikoreksi, karena setiap mu’min berhaq untuk dapat nasihat dan menasihati.

Hal yang paling saya sukai belajar dan berusaha menyampaikan apa yang mungkin bernafaat bagi siapapun yang membutuhkan dan yang mau mengambil manfaat.

باب التيمم
لا يصح التيمم بشيء من أجزاء الأرض إلا بالتراب الخالص الطاهر الذي له غبار بشرط أن ينقله ولو من الهواء وأن يكون بعد دخول وقت العبادة التي يتيمم لها

Bab Tayamum

Tidak dianggap Sah tayamum menggunakan sesuatu dari bagian bumi kecuali dengan tanah yang bersih dan suci yang memiliki debu dengan syarat memindahkan debu walaupun dari sebab angin dan dengan syarat setelah masuknya waktu ibadah yang akan dilakukan tayamum baginya.

وأسبابه ثلاثة
الأول: عدم الماء
والثاني : خوف الضرر من استعماله بسبب مرض أو نحوه
والثالث : احتياجه لشربه أو شرب حيوانه المحترم

(Dan sebab-sebab tayamum) ada tiga, yang pertama karena tidak ada air dan yang kedua karena takut bahaya dari penggunaan air karena sebab sakit atau semisalnya. Dan yang ketiga karena butuhnya seseorang untuk minum air atau memberikan minum hewan yang dihormati.

فروضه أربعة
الأول- النية مقرونة بنقل التراب وبأول جزء يمسحه من الوجه وينوي المتيمم استباحة الصلاة مثلاً
الثاني- مسح الوجه طولاً وعرضاً حتى المقبل من أنفه وشفتيه
الثالث- مسح اليدين مع المرفقين ولا تكفي ضربة واحدة للوجه واليدين بل لا بد لكل منهما من ضربة مستقلة
الرابع- الترتيب بأن يقدم مسح الوجه على مسح اليدين

Kefarduan Tayamum itu ada empat

Yang Pertama : Niat disertai memindahkan tanah (Debu) dengan awal bagian dari wajah yang di usapnya, dan orang bertayamum berniat umpamanya untuk “Istibahatus Sholat”

Yang kedua : Mengusap wajah panjang dan lebar (wajah) sampai yang depan dari hidungnya dan bibirnya.

Yang ketiga : Mengusap kedua tangan serta kedua siku dan tidak dianggap cukup satu usapan untuk wajah dan kedua tangan, tetapi harus setiap dari wajah dan tangan masing-masih satu usapan sendiri-sendiri.

Wallahu A’lam

Antara Ustadz Firanda dan Syaikh Idahram

Sebuah Tulisan menarik yang saya posting dari status Facebook Ustadz  Ashfi Bagindo Fakiah,

Ust. Firanda dalam bukunya; Sejarah Berdarah Sekte “Syiah” telah mengungkap kebohongan Syaikh Idahram yang mengatakan bahwa klaim-klaim Syaikh Idahram dalam buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi adalah bohong dan tidak ada fakta tertulisnya, dll. Idahram hanya banyak menampilkan cover-cover buku yang menurutnya dijadikan rujukan primer guna menipu pembaca seakan benar adanya. Sehingga anak judul buku Ust. Firanda tersebut berbuyi; Membongkar KOLEKSI Dusta Syaikh Idahram.

Entah apa maksud Syaikh Idahram dengan banyak menampilkan cover daripada printscreen isinya? Mungkin Syaikh Idahram ingin memancing adrenalin Ustadz-ustadz salafi wahabi agar bukunya disangggah. Namun emosional lebih dominan dalam penulisan buku sanggahan tersebut yang akhirnya teks-teks yang disebut oleh Syaikh Idahram tidak dapat ditemukan oleh Ust. Firanda (misalnya) karena terburu-buru menilai.

Setelah selesai membaca buku sanggahan balik oleh Syaikh Idahram yang ia beri judul Bukan Fitnah, Tapi Inilah Faktanya ini, ternyata benar teks-teks yang menyebut peristiwa-peristiwa mengerikan itu benar adanya setelah dilengkapi dengan printscreen sumber-sumber itu. Dan jumlah teks-teks yang tidak ditemukan oleh Ust. Firanda cukup banyak, sehingga dengan tidak ditemukan ini Ust. Firanda menyebut Syaikh Idahram berdusta, padahal hanyalah tidak ditemukan, bukan tidk ada. Tuduhan pun berbalik kepada Ust. Firanda setelah semuanya ditampilkan dengan apik oleh Syaikh Idahram secara utuh dan panjang lebar. Karena ini, Syaikh Idahram memberi anak judul bukunya dengan Membongkar TRADISI Dusta Wahabi.

Ust. Firanda dengan kata KOLEKSI. Syaikh Idahram dengan TRADISI. Koleksi bisa dengan mudah dibuang, namun tradisi sulit untuk dibuang. Terjadilah perang bahasa antara keduanya. Apa pun itu, sementara ini saya kagum dengan temuan-temuan Syaikh Idahram dari sumber-sumber primer milik Wahabi sendiri, meski pada bagian-bagian tertentu ada yang saya anggap ganjil dari Syaikh Idahram ini. Syaikh Idahram perlu membuktikan jati dirinya dengan menulis buku -misalnya-; Sejarah Berdarah Sekte Syiah (Perspektif Idahram).

Kekuatiran Pada Bayi dan Janin, Wanita Boleh Tidak Puasa

Puasa Ibu Hamil

Puasa Ibu Hamil

IJMA‘ RAMADHAN KE 17/30 (KEKUATIRAN PADA BAYI DAN JANIN, WANITA BOLEH TIDAK BERPUASA)
أبو آلاء المننكباوي·17 JUNI 2017

Lumrah diketahui bila wanita hamil dan menyusui tidak sanggup berpuasa Ramadhan atau mengalami penurunan energi sehingga menjadi lemah atau bahkan mengakibatkan muntah dan lai sebagainya diperbolehkan tidak berpuasa. Sedangkan mereka yang secara pribadi atau fisik merasa mampu berpuasa namun ada kekuatiran pada kondisi bayi atau janin, ternyata juga diperbolehkan tidak berpuasa, terutama jika yang dikuatirkan adalah dirinya sekaligus bayi atau janinnya.

Abdullah Ibn Umar radhiyallâhu ‘anhumâ;

إن عبد الله بن عمر سئل عن المرأة الحامل إذا خافت على ولدها واشتد عليها الصيام قال تفطر

“Sesungguhnya Abdullah Ibn Umar pernah ditanya tentang wanita hamil yang mengkuatirkan kondisi anaknya sehingga berat untuk berpuasa. Ia menjawab: Wanita itu boleh berbuka” (Malik Ibn Anas, al-Muwattha’ Bi Riwâyah al-Laytsî, vol.1, hal.308, no.678. Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.217, no.7558. Dalam riwayat Abdurrazaaq ini dijelaskan yang bertanya kepada Abdullah Ibn Umar adalah Muhammad Ibn Abdirrahman Ibn Lubaybah)

Abdullah Ibn Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ;

عن ابن عباس قال تفطر الحامل والمرضع في رمضان

“Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata; wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan” (Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.218, no.7564)

Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi (w.450H);

والضرب الثاني أن يكون الخوف على الولد والحمل دون أنفسهما فلا خلاف أن الفطر مباح لهما

“Bagian kedua adalah kekuatiran pada bayi (sedang disusui) dan janin yang sedang dikandung, bukan kuatir pada dirinya sendiri, tidak ada perbedaan pendapat bahwa mereka juga boleh tidak berpuasa” (Al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr Syarh Mukhtashar al-Muzanî, vol.3, hal.947-948)

Al-Imam Abu al-Walid Sulaiman Ibn Khalaf Ibn Sa‘d al-Baji (w.474H);

لا خلاف في إباحة الفطر لها

“Tidak ada perbedaan pendapat ulama tentang kebolehan tidak berpuasa bagi wanita hamil dan menyusui jika kuatir pada kondisi bayi” (Al-Baji, al-Muntaqâ Syarh al-Muwattha’, vol.2, hal.204)

Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H);

وجملة ذلك أن الحامل والمرضع إذا خافتا على أنفسهما فلهما الفطر … لا نعلم فيه بين أهل العلم اختلافا

“Inti dari itu semua, wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa bila kuatir pada kondisi bayi dan juga dirinya … kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat ulama dalam hal ini” (Ibn Qudamah, al-Mughnî Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.3, hal.80)

Apakah Wanita Haid Harus Mengqadha Puasa dan Shalatnya

Qadha Puasa Ramadhan

Qadha Puasa Ramadhan

IJMA‘ RAMADHAN KE 16/30 (APAKAH WANITA HAID HARUS MENGQADHA PUASA DAN SHALATNYA)
أبو آلاء المننكباوي·17 JUNI 2017

Wanita haid dan nifas memang dilarang melaksanakan shalat serta berpuasa, akan tetapi kewajiban yang harus mereka lakukan setelah selesai haid dan nifas adalah mengqadha puasa yang ditinggalkan, bukan mengqadha shalat. Hal tersebut berdasarkan riwayat hadis serta ijma‘ para ulama.
Aisyah Ummul Mukminin radhiyallâhu ‘anhâ;

عن معاذة العدوية قالت سألت عائشة فقلت: ما بال الحائض تقضي الصوم ولا تقضي الصلاة؟ فقالت: أحرورية أنت؟ قلت: لست بحرورية، ولكني أسأل، قالت: قد كان يصيبنا ذلك مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فنؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة

“Dari Mu‘adzah al-‘Adawiyah, ia bertanya kepada Aisyah; Ada apa gerangan mengapa wanita haid harus mengqadha puasanya namun tidak mengqadha shalatnya? Aisyah menjawab; Apakah kamu Harûriyyah? Bukan, saya hanya bertanya. Aisyah menjelaskan; Memang seperti itu syariat yang kami dapati bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita diperintahkan mengqadha puasa, bukan mengqadha shalat” (Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.1, hal.331)

Al-Imam Muhammad Ibn Idris Ibn al-‘Abbas al-Syafi‘i (w.204H);

وكان عاما في أهل العلم أن النبي لم يأمر الحائض بقضاء الصلاة وعاما أنها أمرت بقضاء الصوم، ففرقنا بين الفرضين استدلالا بما وصفت من نقل أهل العلم وإجماعهم

“Sudah jamak diketahui dari para ulama bahwa Nabi tidak memerintahkan wanita haid mengqadha shalatnya, dan juga jamak diketahui bahwa wanita haid diperintahkan mengqadha puasa. Kami membedakan antara dua ibadah fardhu ini berdasarkan periwayat dari para ulama dan ijma‘ mereka yang telah disebutkan sebelumnya” (Al-Syafi‘i, al-Risâlah, hal.119)

Al-Imam Abu Isa Muhammad Ibn Isa al-Tirmidzi (w.279H);

والعمل على هذا عند أهل العلم، لا نعلم بينهم اختلافا أن الحائض تقضي الصيام ولا تقضي الصلاة

“Para ulama mengamalkan hadis ini, dan tidak kami ketahui adanya perbedaan pendapat mereka dalam kewajiban mengqadha puasa bagi wanita haid, sedangkan shalat tidak diqadha” (Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, vol.3, hal.154, pada nomor hadis 787)

Al-Imam Abu Bakr Muhammad Ibn Ibrahim Ibn al-Mundzir al-Naisaburi (w.319H);

وأجمع أهل العلم على أن عليها قضاء الصوم لإجماعهم، وسقط عنها فرض الصلاة لثبوت السنة والإجماع

“Wanita haid yang tidak berpuasa wajib mengqadha puasanya berdasarkan ijma‘ para ulama, sedangkan kewajiban -qadha- shalat gugur bagi mereka berdasarkan sunnah dan ijma‘” (Ibn al-Mundzir, al-Awsath Fî al-Sunan wa al-Ijmâ‘ wa al-Ikhtilâf, vol.7, hal.191)

Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Khalaf Ibn Abdil Malik Ibn Batthâl al-Qurthubi (w.449H);

وأجمعوا أن عليها قضاء ما تركت من الصيام، ولا قضاء عليها للصلاة

“Para ulama berijma‘ bahwa wanita haid wajib mengqadha puasa yang ditinggalkannya, namun tidak dengan shalat” (Ibn Batthal, Syarh Shahîh al-Bukhârî, vol.1, hal.419)

Al-Imam Abu Muhammad Ali Ibn Ahmad Ibn Sa‘id Ibn Hazm al-Andalusi (w.456H);

وأجمعوا أن الحائض تقضي ما أفطرت في حيضها

“Dan para ulama berijma‘ bahwa wanita haid wajib menqadha puasa yang ditinggalkannya selama haid”
(Ibn Hazm, Marâtib al-Ijmâ‘, hal.40)

ولا قضاء إلا على خمسة فقط، وهم الحائض والنفساء فإنهما يقضيان أيام الحيض والنفاس، لا خلاف في ذلك من أحد…

“Tidak ada qadha selain yang lima; wanita haid dan nifas, mereka wajib mengqadha -puasa yang ditinggalkan- selama haid dan nifas. Tidak ada perbedaan yang muncul dalam masalah ini…” (Ibn Hazm, al-Muhallâ Bi al-Atsâr, vol.6, hal.185)

Al-Imam Abu Bakr Ala’uddin Ibn Mas‘ud Ibn Ahmad al-Kasani (w.587H)

Al-Imam al-Kasani ketika mengomentari atsar dari Aisyah dengan Mu‘adzah yang disebutkan di atas mengatakan;

أشارت إلى أن ذلك ثبت تعبدا محضا، والظاهر أن فتواها بلغت الصحابة ولم ينقل أنه أنكر عليها منكر فيكون إجماعا من الصحابة رضي الله عنهم

“Beliau mengisyaratkan bahwa aturan tersebut murni ta‘abbud. Secara lahir, fatwa Aisyah tersebut sampai kepada para sahabat lain, dan tidak ada riwayat pengingkaran dari mereka, sehingga jadilah apa yang disampaikan itu sebagai ijma para sahabat radhiyallâhu ‘anhum” (Al-Kasani, Badâi’ al-Shanâi’ Fî Tartîb al-Syarâi‘, vol.2, hal.89)

Al-Imam Abu Muhammad Baha’uddin Abdurrahman Ibn Ibrahim Ibn Ahmad al-Maqdisi (w.624H);

الحائض والنفساء تفطران وتقضيان إجماعا، وإن صامتا لم يجزئهما إجماعا

“Wanit haid dan nifas mesti berbuka dan mengqadha puasa tersebut berdasarkan ijma‘, dan jika mereka tetap berpuasa maka belum sah berdasarkan ijma‘” (Baha’uddin al-Maqdisi, al-‘Uddah Syarh al-‘Umdah, vol.1, hal.41)

Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H);

أجمع أهل العلم على أن الحائض والنفساء لا يحل لهما الصوم وإنهما يفطران رمضان ويقضيان

“Ulama berijma‘ bahwa wanita haid dan nifas tidak halal berpuasa, sehingga mereka memang harus berbuka lalu mengqadha puasa tersebut” (Ibn Qudamah, al-Mughnî Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.3, hal.83)

Al-Imam Abu Abdillah Syamsuddin Muhammad Ibn Abdillah al-Zarkasyi (w.772H);

القضاء واجب على الحائض والنفساء بالإِجماع

“Mengqadha puasa wajib bagi wanita haid dan nifas berdasarkan ijma‘” (Al-Zarkasyi, Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.1, hal.430)